Minggu, 15 Januari 2012

Wanitaku Bukan Kor-Mod Kain Sejengkal

 Wanita. Sebuah kata yang tak pernah ada hentinya untuk dibicarakan baik itu dari kaum mereka sendiri atau pun kaum lelaki yang memang menggandrungi mereka. Tentu saja hal ini menjadikan wanita bak permata yang indah walaupun tercelup dalam gubangan lumpur dan tetap memancarkan beningnya. Pembicaraan tentang wanita tidaklah terhenti hanya di bidang sosial, pendidikan atau pun politik melainkan budaya pula. Hebatnya, hampir di semua aspek itu, wanita bisa menduduki sekaligus menunjukkan talennya serta membuktikan kreatifitas mereka. Setidaknya, itulah yang aku gandrungi dari sosok wanita. Namun, dalam perjalanannya, wanita yang mulia dengan sosoknya saat ini mengalami pergeseran. Entah dari cara mereka bergaul hingga berpakaian. Setidaknya, ini dari anatomi saja.
Disini, dikampusku, UIN Suka, sendiri banyak wanita yang aku rasa lebih dari sekedar pantas untuk digunakan sebagai pencuci mata dan membasahi dahaga syahwat seorang pria. Akan tetapi, sosok wanita yang ada disini tidak sampai memuncakkan gairah birahi seorang pria. Hal ini bukan karena aku tidak bersyahwat namun menurut beberapa teman yang aku tanyai juga mengakui bahwa cantiknya kaum hawa ini menentramkan hati tanpa memberikan efek syahwat yang madlorot kepada penikmatnya.
Lebih lanjut, ketika aku keluar dari kampus untuk nongkrong di warung kopi yang biasa aku gunakan sebagai tempat berteduh, aku menemukan beberapa wanita yang asyik memamerkan celana sejengkal dan belahan untuk si bayi, asyiknya lagi mereka menikmati tiap hembusan asap yang mengepul-ngepul diatas kepala. Di zaman yang bebas seperti ini, pemandangan ini termasuk lazim ditemukan. Tentu saja, bagi pria normal ini lebih dari cukup untuk memuaskan nafsu hewani yang terkungkung dalam hati. Tak ayal pula efek negatif yang diberikan oleh pancaran wanita-wanita warung kopi ini memberi hasrat kotor dalam imajinasi pria. Wanita seperti ini beralasan bahwa yang ini adalah mode. Sebenarnya, aku merasa iba dengan keadaan ini namun ketika pria mencoba memberi pengertian maka dikhawatirkan mereka akan salah paham.
Kemudian, ada pula yang menjadi masalah ketika adanya pelecehan yang dilakukan beberapa pria, tentunya masih ingat dengan kejadian yang ada di daerah ibu kota di mana seorang perempuan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari beberapa pria yang dianggap mata keranjang. Menurutku, ini semua tidak lepas dari bagaimana wanita tersebut menjaga diri mereka. Setidaknya dari pakaiaan yang mereka kenakan.
Dalam Perspektif Islam, pakaiaan adalah sesuatu yang tidak main-main karena pakaiaanlah yang akan menjaga aurat kita. Bahkan pepatah Jawa mengatakan bahwa aji ning rogo ono ing busono (kehormatan seseorang ada pada pakaiaannya). Dari dua perspektif ini menandakan bahwa pentingnya pakaiaan dapat mempengaruhi lingkungan sekitar. Selanjutnya, Islam ternyata tidak hanya mengajarkan manusia untuk bermuamalah kepada sesame akan tetapi juga mengajarkan bagaimana berpakaiaan yang rapi bagi manusia. Dalam hadits yang dihujjah oleh Turmudzi menyatakan bahwa perempuan adalah aurat. Dengan kata lain wanita harus pintar-pintar memilih benda untuk diri mereka.
Ah, wanita bukannya aku menyalahkan cara berpakaiaanmu akan tetapi aku hanya merasa kasihan kepada tubuhmu yang indah. Janganlah karena alasan mode kalian harus menahan hawa dingin tanpa jaket dan kain yang menyelimuti kaki kalian. Bila kerudung terasa ribet untuk kalian, maka pakaialah baju yang berlengan panjang. Jika jilbab terasa merepotkan pakailah celana yang panjang dan apabila hijab terlalu jadul untuk kalian pakaialah pakaiaan yang sedikit longgar.

Jumat, 13 Januari 2012

"Waiting for Godot" in the Theater of Absurd and Existentialism View


Waiting for Godot is the one of the work of Samuel Beckett in the literary works which is classified into the theater of absurd. It will be reasonable if the definition of theater absurd is compared by the intrinsic even the essence of the play Waiting for Godot. First, the definition of absurd is “out of harmony” in a musical context. In different sentence, absurd also meaning “ridiculous” which is devoid of purpose relating to all character’s actions are useless, meaningless, and absurd. It also means that the theater of absurd has divorced the actor and his setting which is shown the feeling of absurdity.
In the same time, the play of Waiting for Godot also has this idea. One idea is coming from the divorce between the actor and the setting. It can be found when this play does not have the intrinsic aspect building the play from the inside completely even this play also break the rules of creating the literary works traditionally. In addition, the character of Vladimir and Estragon also can be the example of absurd because those characters are waiting a useless wish, Godot who will give them everything. From their dialog, it is mentioned that they wait for Godot even though their appointment with him is by no means certain (page 18). Extremely, Jerome (2008) says that it is sometimes referred to as “the play where nothing happens.” Then, it is quite clear that the play of Beckett’s work is admitted as the theater of absurd.
Another approach to view this play is existentialism. Some of researches such as Jean Paul Sartre, Albert Camus, and Martin Heidegger do not have the sharp definition about this word. They only give some characteristics about the word to show the meaning of existentialism that can be concluded by the writer into 2 things. The first is freewill and the second is the existence of human is earlier that the essence of human. In this play, Estragon and Vladimir could not evade a bad faith and do not have right to build their own essence because they are tied by the order with Godot even Estragon and Vladimir also need each other. It means that the word of freewill (individual) to do anything is nonsense here. Then, in the page 62 shows that they are incapable of keeping silent. In contrary, Beckett used a lot of words “silence”.
Then, the writer indicates that those characters do not want to hear an anguish and suffering of people in the past. In the dialog Estragon called that voice as the dead voice which was like leaves and it talked about their lives. It can be interpreted that they could not avoid caring about the condition of human. The last is they also think about their future that depends on the character of Godot which is a symbol of God. This opinion is reasonable to break the existentialism in this play, because the existentialism here defines that human lives to face their life and finds their essential of life. When Estragon and Vladimir pretend that their life is senselessness, they wait for Godot to solve their problem.
Finally, those evidences are quite clear that this play is included the theater of absurd but it cannot be identified using an approach of existentialism like Bob Carbett says about being and nothingness. Being in the existentialism is about the word I as the central of the actions. Then, nothingness is about the different of one human form other human about their existing. If they are the same, it means they do not exist. Significantly, the order of existentialism does not require that the duty of human in this world is to face the human condition as a recognition that at the root of our being there is nothingness. (M. Hisyam Maliki)


Singgasana Bambu



Disini, diatas kursi bambu. Kursi bambuku sendiri hasil karya tanganku yang tak mungkin ku biarkan rapuh oleh zaman. Inilah singgasanaku, singgasana sempit yang terhimpit gejolak waktu. Berteman lampu sentir yang nyalanya tak lebih dari kunang-kunang, aku mempertahankan hidupku. Malam memang petang kali ini, terlalu petang untuk jam 19.45 WIB, mungkin karena mendung yang terkadang disertai gerimis mulai menghampiri. Hah, sepertinya aku harus mempersiapkan wadah besar, harap-harap cemas kalau nanti akan hujan lebat melumat kerajaanku dan pelanggan akan terusik dengan gemricik air cucuran atap. Ehm… Pelanggan? Sudah 7 tahun aku disini, dipertigaan jalan Pedak Baru. Lebih tepatnya, dijalan gang pedak baru dimana aku terbiasa menanti rizki dibawah tenda biru dan lampu sentir yang mulai kehabisan daya.  Nasib, Pelangganku tertarik pada dunia kekinian. beberapa bulan ini, kata pelanggan sangat asing bagiku bahkan lampu muram padamku lebih terbiasa menerangiku dari pada menerangi orang lain. Orang zaman ini malu untuk singgah dikerajaanku. Mereka berkata bahwa ini tempanya orang berkantung tipis. Makin menyiksanya lagi karena ada pesaing disebelahku.
Siapa? Warung disampingku memiliki modal yang lebih besar. Warung kapitalis ini yang mendampratku ke jurang kemlaratan dan keterpurukan. Bahkan keluargaku mulai tidak utuh. Istriku lari dibawa orang lain, boleh dikata dia memilih untuk jatuh kepelukan pria lain. Tukang ojek. Itulah profesi si tengik itu. Setiap kali aku melihat tukang ojek yang mangkal, ingin rasanya aku membakar pangkalan mereka. Tujuanku hanya satu, supaya mereka kehilangan mata pencaharian dan istri mereka akan lari kepedagang nasi kucing, macam aku ini. Pedagang yang setia dengan tradisinya. Angin malam mulai menerpa kulit kriputku, terlihat malam nian terbenam dalam mendung seperti pualam, Bunyi gemrincing lonceng yang di pasang anak kecilku memberi rona rasa kangenku padanya. Kasihan, dia masih kecil. Baru kelas 6 SD, tapi sudah terpisah denganku dan memiliki bapak baru. Dari 4 anakku, kini Romlah yang hidup bersamaku, terkadang aku menelusuk kedalam lamunannya dan tingkahnya yang merindu akan perhatiaan seorang ibu. Dia lebih suka memakai pakaiaan laki-laki. Iba aku melihatnya.
Malam ini sangat lembab, tenda biru ini meneteskan air kelembaban, angin dingin pun menyelubungi perasaan kalut ini. Romlah kini beranjak dewasa, sepertinya akan ada perjaka yang akan meliriknya. Namun, apakah keluarga perjaka itu akan menerimanya? Malang sial kau Romlah putriku. Kapan kata kecil yang sering disebut manusia kebahagian itu jatuh kepadamu. Andai kebahagiaan bisa dirayu, aku akan memohon dan bersujud hingga noda hitam melekat jidatku pun aku rela melakukannya karenamu putriku. Oh, aku hampir lupa, kemarin lusa dia bilang kalau dia sudah mendapatkan tambatan hati. Rencananya, dia akna membawanya kesini. Pasti hari ini dia sudah berdandan sangat rapi layaknya wanita asli. Memang begitu seharusnya. Biarlah aku melihatmu dalam pelaminan sebelum jiwa ini diambil oleh kapitalis. Inilah tandanya, rambut ini mulai memutih, mataku mulai remang-remang seperti lampu temaram, letaknya pun sudah tak seperti dulu. Sedikit menjorok kebelakang karena tulang pelipis semakin kelihatan. Aku membutuhkan suasana baru, hap, aku duduk dipagar depan warungku. Sepertinya menyenangkan pabila menjadi angin yang memberikan ketenangan kepada manusia. Dari sini, aku bisa melihat sekeliling, melihat anak muda jalan berpasangan, wanita bercadar, dan juga warung yang menggerogoti moral istriku. Akhirnya, pucuk dicinta, wulan pun tiba. Ada sekelompok pemuda, rasanya mereka pemuda-pemuda yang lapar. Selanjutnya, kecemasan ini akan mulai terpecahkan. Gelak tawa mereka terdengar seperti recehan angklung yang menderu.
Mereka lewat begitu saja. Aku hanya mematung, dianggapnya aku ini gupolo. Sial! Mereka lebih melirik warung bangsat itu. Rasanya, dunia ini memang tidak berpihak padaku. Desiran keping angklung sudah menghilanng dari khayalku sedikit demi sedikit. Dunia ini membawaku dari terpuruk menjadi tertindas mengenas. Nelangsa. Nasi kucing ini tentunya akan kembali ke penegpul untuk jadi nasi aking, modal ku akan terus tergerus, gorenganku akan basi dan dilemur bersama bekatul untuk pakan bebek si Jarwo. Tentunya, dia akan senang karena bebeknya dapat makanan tanpa bayar,
“Bila keadaannya seperti ini? Mending aku mati saja”. Gumamku lirih selirih angin lembab ini.
“Kapan pula si Romlah datang, ini hampir jam 8”. Lanjut hatiku yang kesepian, ucapan pengharapan atas datangnya jelita darah dagingku tercinta.
“Pak! kok masih disini. Haruse bapak pulang. Pakai pakaian bagus. Pengen memalukanku didepan pacarku”. Tukas Romlah dari samping tanpa sapa seperti biasa. Sesak. Dadaku semakin sesak, telingaku terpekak risau. Ucapannya jatuh kehatiku hingga membatu. Padahal belum hujan, tapi petir telah menyambar hatiku. Kilatan matanya menyorotkan aura kebencian kepada ku. Kepada seorang ayah yang membuatny amalu lahir didunia ini. Dia hanya menatapku dan pulang ke rumah. Memang kebetuilan kalau warung mungil ini aku bangun dekat dengan rumahku.
Hap..aku turun dari pagar, menuju singgasana bambu. Aku menatap lampu redam dengan meradang, mengutuk, dan memaki hidup ini. Dari biasnya sentir, mata pisau melambaikan ketenangan batin. Tangan ini mulai menggenggam, sekuat tenaga. Jep..! Pisau mencium gumpalan darah kiriku. Perlahan, berdetak, berdetak dan tak berdetak.
                                                                        27 Desember 2011 disekitar angkringan Kalicode


sebuah Salam

Salam terhangat untuk semua orang yang ingin maju bersama orang-orang yang bersenjatakan pena untuk menggoreskan kisah mereka dalam sebuah sejarah. Tentunya saya tidak akan pernah lupa dengan ucapan seorang Pramoedya yang menyatakan bahwa orang boleh pintar setinggi langit tapi dia akan hilang dari sejarah apabila namanya tidak ditulis. Berawal dari sebuah pertemuan dengan kata inilah yang menjadikan saya ingin berdiri bersama orang-orang yang ingin hidupnya selalu dikenang. Dikenang dalam sebuah tulisan atau pun karya, entah puisi, cerita pendek atau pun karangan novel dan yang lain.