Jumat, 13 Januari 2012

Singgasana Bambu



Disini, diatas kursi bambu. Kursi bambuku sendiri hasil karya tanganku yang tak mungkin ku biarkan rapuh oleh zaman. Inilah singgasanaku, singgasana sempit yang terhimpit gejolak waktu. Berteman lampu sentir yang nyalanya tak lebih dari kunang-kunang, aku mempertahankan hidupku. Malam memang petang kali ini, terlalu petang untuk jam 19.45 WIB, mungkin karena mendung yang terkadang disertai gerimis mulai menghampiri. Hah, sepertinya aku harus mempersiapkan wadah besar, harap-harap cemas kalau nanti akan hujan lebat melumat kerajaanku dan pelanggan akan terusik dengan gemricik air cucuran atap. Ehm… Pelanggan? Sudah 7 tahun aku disini, dipertigaan jalan Pedak Baru. Lebih tepatnya, dijalan gang pedak baru dimana aku terbiasa menanti rizki dibawah tenda biru dan lampu sentir yang mulai kehabisan daya.  Nasib, Pelangganku tertarik pada dunia kekinian. beberapa bulan ini, kata pelanggan sangat asing bagiku bahkan lampu muram padamku lebih terbiasa menerangiku dari pada menerangi orang lain. Orang zaman ini malu untuk singgah dikerajaanku. Mereka berkata bahwa ini tempanya orang berkantung tipis. Makin menyiksanya lagi karena ada pesaing disebelahku.
Siapa? Warung disampingku memiliki modal yang lebih besar. Warung kapitalis ini yang mendampratku ke jurang kemlaratan dan keterpurukan. Bahkan keluargaku mulai tidak utuh. Istriku lari dibawa orang lain, boleh dikata dia memilih untuk jatuh kepelukan pria lain. Tukang ojek. Itulah profesi si tengik itu. Setiap kali aku melihat tukang ojek yang mangkal, ingin rasanya aku membakar pangkalan mereka. Tujuanku hanya satu, supaya mereka kehilangan mata pencaharian dan istri mereka akan lari kepedagang nasi kucing, macam aku ini. Pedagang yang setia dengan tradisinya. Angin malam mulai menerpa kulit kriputku, terlihat malam nian terbenam dalam mendung seperti pualam, Bunyi gemrincing lonceng yang di pasang anak kecilku memberi rona rasa kangenku padanya. Kasihan, dia masih kecil. Baru kelas 6 SD, tapi sudah terpisah denganku dan memiliki bapak baru. Dari 4 anakku, kini Romlah yang hidup bersamaku, terkadang aku menelusuk kedalam lamunannya dan tingkahnya yang merindu akan perhatiaan seorang ibu. Dia lebih suka memakai pakaiaan laki-laki. Iba aku melihatnya.
Malam ini sangat lembab, tenda biru ini meneteskan air kelembaban, angin dingin pun menyelubungi perasaan kalut ini. Romlah kini beranjak dewasa, sepertinya akan ada perjaka yang akan meliriknya. Namun, apakah keluarga perjaka itu akan menerimanya? Malang sial kau Romlah putriku. Kapan kata kecil yang sering disebut manusia kebahagian itu jatuh kepadamu. Andai kebahagiaan bisa dirayu, aku akan memohon dan bersujud hingga noda hitam melekat jidatku pun aku rela melakukannya karenamu putriku. Oh, aku hampir lupa, kemarin lusa dia bilang kalau dia sudah mendapatkan tambatan hati. Rencananya, dia akna membawanya kesini. Pasti hari ini dia sudah berdandan sangat rapi layaknya wanita asli. Memang begitu seharusnya. Biarlah aku melihatmu dalam pelaminan sebelum jiwa ini diambil oleh kapitalis. Inilah tandanya, rambut ini mulai memutih, mataku mulai remang-remang seperti lampu temaram, letaknya pun sudah tak seperti dulu. Sedikit menjorok kebelakang karena tulang pelipis semakin kelihatan. Aku membutuhkan suasana baru, hap, aku duduk dipagar depan warungku. Sepertinya menyenangkan pabila menjadi angin yang memberikan ketenangan kepada manusia. Dari sini, aku bisa melihat sekeliling, melihat anak muda jalan berpasangan, wanita bercadar, dan juga warung yang menggerogoti moral istriku. Akhirnya, pucuk dicinta, wulan pun tiba. Ada sekelompok pemuda, rasanya mereka pemuda-pemuda yang lapar. Selanjutnya, kecemasan ini akan mulai terpecahkan. Gelak tawa mereka terdengar seperti recehan angklung yang menderu.
Mereka lewat begitu saja. Aku hanya mematung, dianggapnya aku ini gupolo. Sial! Mereka lebih melirik warung bangsat itu. Rasanya, dunia ini memang tidak berpihak padaku. Desiran keping angklung sudah menghilanng dari khayalku sedikit demi sedikit. Dunia ini membawaku dari terpuruk menjadi tertindas mengenas. Nelangsa. Nasi kucing ini tentunya akan kembali ke penegpul untuk jadi nasi aking, modal ku akan terus tergerus, gorenganku akan basi dan dilemur bersama bekatul untuk pakan bebek si Jarwo. Tentunya, dia akan senang karena bebeknya dapat makanan tanpa bayar,
“Bila keadaannya seperti ini? Mending aku mati saja”. Gumamku lirih selirih angin lembab ini.
“Kapan pula si Romlah datang, ini hampir jam 8”. Lanjut hatiku yang kesepian, ucapan pengharapan atas datangnya jelita darah dagingku tercinta.
“Pak! kok masih disini. Haruse bapak pulang. Pakai pakaian bagus. Pengen memalukanku didepan pacarku”. Tukas Romlah dari samping tanpa sapa seperti biasa. Sesak. Dadaku semakin sesak, telingaku terpekak risau. Ucapannya jatuh kehatiku hingga membatu. Padahal belum hujan, tapi petir telah menyambar hatiku. Kilatan matanya menyorotkan aura kebencian kepada ku. Kepada seorang ayah yang membuatny amalu lahir didunia ini. Dia hanya menatapku dan pulang ke rumah. Memang kebetuilan kalau warung mungil ini aku bangun dekat dengan rumahku.
Hap..aku turun dari pagar, menuju singgasana bambu. Aku menatap lampu redam dengan meradang, mengutuk, dan memaki hidup ini. Dari biasnya sentir, mata pisau melambaikan ketenangan batin. Tangan ini mulai menggenggam, sekuat tenaga. Jep..! Pisau mencium gumpalan darah kiriku. Perlahan, berdetak, berdetak dan tak berdetak.
                                                                        27 Desember 2011 disekitar angkringan Kalicode


Tidak ada komentar:

Posting Komentar