Disini,
diatas kursi bambu. Kursi bambuku sendiri hasil karya tanganku yang tak mungkin
ku biarkan rapuh oleh zaman. Inilah singgasanaku, singgasana sempit yang
terhimpit gejolak waktu. Berteman lampu sentir yang nyalanya tak lebih
dari kunang-kunang, aku mempertahankan hidupku. Malam memang petang kali ini, terlalu
petang untuk jam 19.45 WIB, mungkin karena mendung yang terkadang disertai
gerimis mulai menghampiri. Hah, sepertinya aku harus mempersiapkan wadah besar,
harap-harap cemas kalau nanti akan hujan lebat melumat kerajaanku dan pelanggan
akan terusik dengan gemricik air cucuran atap. Ehm… Pelanggan? Sudah 7 tahun
aku disini, dipertigaan jalan Pedak Baru. Lebih tepatnya, dijalan gang pedak
baru dimana aku terbiasa menanti rizki dibawah tenda biru dan lampu sentir
yang mulai kehabisan daya. Nasib, Pelangganku
tertarik pada dunia kekinian. beberapa bulan ini, kata pelanggan sangat asing
bagiku bahkan lampu muram padamku lebih terbiasa menerangiku dari pada
menerangi orang lain. Orang zaman ini malu untuk singgah dikerajaanku. Mereka
berkata bahwa ini tempanya orang berkantung tipis. Makin menyiksanya lagi
karena ada pesaing disebelahku.
Siapa?
Warung disampingku memiliki modal yang lebih besar. Warung kapitalis ini yang
mendampratku ke jurang kemlaratan dan keterpurukan. Bahkan keluargaku mulai tidak
utuh. Istriku lari dibawa orang lain, boleh dikata dia memilih untuk jatuh
kepelukan pria lain. Tukang ojek. Itulah profesi si tengik itu. Setiap kali aku
melihat tukang ojek yang mangkal, ingin rasanya aku membakar pangkalan mereka.
Tujuanku hanya satu, supaya mereka kehilangan mata pencaharian dan istri mereka
akan lari kepedagang nasi kucing, macam aku ini. Pedagang yang setia dengan
tradisinya. Angin malam mulai menerpa kulit kriputku, terlihat malam nian
terbenam dalam mendung seperti pualam, Bunyi gemrincing lonceng yang di pasang
anak kecilku memberi rona rasa kangenku padanya. Kasihan, dia masih kecil. Baru
kelas 6 SD, tapi sudah terpisah denganku dan memiliki bapak baru. Dari 4 anakku,
kini Romlah yang hidup bersamaku, terkadang aku menelusuk kedalam lamunannya
dan tingkahnya yang merindu akan perhatiaan seorang ibu. Dia lebih suka memakai
pakaiaan laki-laki. Iba aku melihatnya.
Malam
ini sangat lembab, tenda biru ini meneteskan air kelembaban, angin dingin pun
menyelubungi perasaan kalut ini. Romlah kini beranjak dewasa, sepertinya akan
ada perjaka yang akan meliriknya. Namun, apakah keluarga perjaka itu akan
menerimanya? Malang sial kau Romlah putriku. Kapan kata kecil yang sering
disebut manusia kebahagian itu jatuh kepadamu. Andai kebahagiaan bisa dirayu,
aku akan memohon dan bersujud hingga noda hitam melekat jidatku pun aku rela
melakukannya karenamu putriku. Oh, aku hampir lupa, kemarin lusa dia bilang
kalau dia sudah mendapatkan tambatan hati. Rencananya, dia akna membawanya
kesini. Pasti hari ini dia sudah berdandan sangat rapi layaknya wanita asli.
Memang begitu seharusnya. Biarlah aku melihatmu dalam pelaminan sebelum jiwa
ini diambil oleh kapitalis. Inilah tandanya, rambut ini mulai memutih, mataku
mulai remang-remang seperti lampu temaram, letaknya pun sudah tak seperti dulu.
Sedikit menjorok kebelakang karena tulang pelipis semakin kelihatan. Aku
membutuhkan suasana baru, hap, aku duduk dipagar depan warungku. Sepertinya
menyenangkan pabila menjadi angin yang memberikan ketenangan kepada manusia.
Dari sini, aku bisa melihat sekeliling, melihat anak muda jalan berpasangan,
wanita bercadar, dan juga warung yang menggerogoti moral istriku. Akhirnya, pucuk
dicinta, wulan pun tiba. Ada sekelompok pemuda, rasanya mereka pemuda-pemuda
yang lapar. Selanjutnya, kecemasan ini akan mulai terpecahkan. Gelak tawa
mereka terdengar seperti recehan angklung yang menderu.
Mereka
lewat begitu saja. Aku hanya mematung, dianggapnya aku ini gupolo. Sial!
Mereka lebih melirik warung bangsat itu. Rasanya, dunia ini memang tidak
berpihak padaku. Desiran keping angklung sudah menghilanng dari khayalku
sedikit demi sedikit. Dunia ini membawaku dari terpuruk menjadi tertindas
mengenas. Nelangsa. Nasi kucing ini tentunya akan kembali ke penegpul untuk
jadi nasi aking, modal ku akan terus tergerus, gorenganku akan basi dan dilemur
bersama bekatul untuk pakan bebek si Jarwo. Tentunya, dia akan senang karena
bebeknya dapat makanan tanpa bayar,
“Bila
keadaannya seperti ini? Mending aku mati saja”. Gumamku lirih selirih angin
lembab ini.
“Kapan
pula si Romlah datang, ini hampir jam 8”. Lanjut hatiku yang kesepian, ucapan
pengharapan atas datangnya jelita darah dagingku tercinta.
“Pak!
kok masih disini. Haruse bapak pulang. Pakai pakaian bagus. Pengen memalukanku
didepan pacarku”. Tukas Romlah dari samping tanpa sapa seperti biasa. Sesak. Dadaku
semakin sesak, telingaku terpekak risau. Ucapannya jatuh kehatiku hingga
membatu. Padahal belum hujan, tapi petir telah menyambar hatiku. Kilatan
matanya menyorotkan aura kebencian kepada ku. Kepada seorang ayah yang
membuatny amalu lahir didunia ini. Dia hanya menatapku dan pulang ke rumah.
Memang kebetuilan kalau warung mungil ini aku bangun dekat dengan rumahku.
Hap..aku
turun dari pagar, menuju singgasana bambu. Aku menatap lampu redam dengan
meradang, mengutuk, dan memaki hidup ini. Dari biasnya sentir, mata pisau
melambaikan ketenangan batin. Tangan ini mulai menggenggam, sekuat tenaga.
Jep..! Pisau mencium gumpalan darah kiriku. Perlahan, berdetak, berdetak dan
tak berdetak.
27 Desember 2011 disekitar angkringan Kalicode
Tidak ada komentar:
Posting Komentar